IJBNET Siap fasilitasi Mengolah Kelapa Menjadi Bioavtur Jet

Ada yang menarik dari acara tahunan ICC (International Coconut Community) “the 49th International Cocotech 2021” yang digelar dari tanggal 30 Agustus sampai 2 September 2021. Acara dibuka oleh Dr. Jelfina Alow, WNI pertama yang memimpin organisasi kelapa dunia ini, dihadiri oleh Menko Perekonomian RI, Bapak Airlangga Hartarto, Menteri Pertanian RI dan perwakilan negara-negara anggota ICC, juga pakar dan pelaku industri kelapa.
Salah satu yang menarik adalah presentasi dari Ketua Umum IJBNet (Indonesia-Japan Business Network), Dr. Suyoto Rais, yang memperjuangkan kelapa Indonesia untuk bisa diolah menjadi bioavtur pesawat jet atau SAF (sustaible aviation fuel).
IJBNet telah mulai melakukan kajian dan survei ke lapangan sejak sebelum COVID-19 di Indonesia, bersama mitra Jepang yang berminat investasi mengolah SAF. Hasilnya mengerucut, kelapa seharusnya bisa menjadi bahan baku SAF yang sangat baik. Setidaknya ada 2 perusahaan Jepang yang berminat dan ingin segera mulai persiapan pendirian pilot plant di lokasi potensial, atau mengolah CCO di pabrik SAF di Jepang. Sayangnya keinginan ini terganjal aturan ICAO (International Civil Aviation Organization) yang tidak membolehkan menggunakan bahan baku pangan untuk diolah menjadi bio-energi. Kelapa termasuk didalamnya, dan pemerintah Jepang belum memberikan ijin.
Untuk meyakinkan pemerintah Jepang, IJBNet bekerjasama dengan para mitra Jepang telah melakukan studi kelayakan ke wilayah-wilayah potensial di Indonesia, dan menemukan bahwa sekitar 30% dari semua kelapa di Indonesia bisa dikategorikan “kelapa non-standar” yang sulit diterima pasar dan industri makanan. Yakni, kelapa yang ukurannya kecil, terlalu tua, tumbuh tunas, pecah, rasa asam dan lain-lain.
“kelapa-kelapa yang tidak diterima pasar itu yang akan kami olah menjadi bioavtur, jadi sama sekali tidak mengganggu pasokan kelapa untuk pangan,” demikian Suyoto Rais berargumentasi dalam presentasi di forum ICC kemarin yang ditanggapi dengan antusias oleh para peserta forum.
“Ada 3 alasan kenapa kelapa dipilih. Pertama, kelapa memiliki asam lemak, rantai karbon atau hidrokarbon yang sangat dekat dengan kebutuhan SAF. CCO memiliki 81% asam lemak yang diperlukan SAF, paling tinggi di antara minyak-minyak lainnya. Kedua, konsumsi minyak kelapa di seluruh dunia hanya 2.1%, paling rendah di antara minyak-minyak lainnya. Konsumsi tertinggi minyak kelapa sawit, kedelai dan rapeseed yang totalnya 77%. Ketiga, ada kelapa di Indonesia yang tidak diterima pasar. Kelapa-kelapa ini terkadang diolah menjadi kopra dengan harga jual yang lebih rendah dari kelapa, atau dibiarkan terbuang di mana-mana sehingga di banyak perkebunan kelapa tumbuh bibit-bibit kelapa yang tidak dikelola dengan baik. Selain itu, kami juga merencanakan replanting dan meningkatkan produktivitas dari 4.1 ton per Ha saat ini menjadi minimal 10 ton per Ha,” tambah Suyoto.
Untuk memulai proyek ini, IJBNet menggandeng mitra di Indonesia dan Jepang, baik sebagai pemasok kelapa, pengolah CCO atau mendirikan pabrik SAF di Indonesia atau Jepang. Termasuk petani sebagai pihak yang harus diprioritaskan. Petani akan diberikan income tambahan dari pekerjaam lain yang ditawarkan, misalnya mengupas sabut-tempurung dan membuatnya menjadi biomassa, mengolah air kelapa menjadi nata-de-coco dan pupuk organik cair dan lainnya. IJBNet akan menjadi offtaker dan menjualkan produk-produk yang dibina ini. Dengan cara itu, petani akan menadapatkan penghasilan lebih meskipun harga kelapa lebih rendah dari kelapa untuk industry pangan.

Proyek ini akhirnya mendapat dukungan dari ICC (International Coconut Community) dengan memberikan kesempatan presentasi di forum international tahunannya, juga RSB (Rountable on Sustainable Biomaterials) yang barusan mengeluarkan definisi kelapa non-standar yang boleh dioleh menjadi bioenergi. Dukungan-dukungan ini akan diajukan ke pemerintah Jepang dan berharap akan segera mendapatkan lampu hijau.

Sambil menunggu ijin tersebut, IJBNet sedang mempersipkan pilot plant SAF di Indonesia. “Kebutuhan SAF dunia akan semakin bertambah. ICAO memperkirakan akan ada kapasitas produksi 13.6 miliar liter di tahun 2032 nanti, sementara Indonesia estimasinya memerlukan 360 juta liter dan Jepang bisa lebih dari 2 kalinya. Kelapa bisa jadi alternatif sebagai bahan bakunya. Saya yakin tidak menyalahi aturan ICAO sama sekali. Indonesia bisa jadi raja bioavtur dunia apabila dibolehkan mengolah dari bahan baku kelapa, kelapa sawit dan lain-nya yang banyak tersedia di Indonesia,” demikian Suyoto mengakhiri press releasenya.

Sementara itu, Solihin, Direktur Eksekutif IJBNet juga mempersilakan para pelaku industri kelapa, investor dan calon-calon mitra yang tertarik untuk bergabung. “Proyek ini memerlukan banyak dukungan dan kerjasama. Kami membuka pintu lebar-lebar untuk pihak-pihak di Indonesia, Jepang atau lainnya untuk bersama-sama mengembangkan proyek ini. Juga bisnis-bisnis terkait. Peminat bisa menghubungi kami di sekretariat” (red-indonews.tv)

Related Posts

About The Author

kirim pesan
Tanyakan untuk bisa diliput indonews.tv
TANYAKAN DISINI JIKA TEMPAT ANDA INGIN DIPROMOSIKAN KE INDONEWS.TV (TELEVISi ONLINE MASA KINI)