indonews.tv I Riuh rendah dunia saat ini memang di plot isyu tentang Politik yang sedang berlangsung saat ini, sampai-sampai kita merilis tentang head line “ Hilangnya budaya malu dalam politik”,
Apa yang mengacu pada kecenderungan para politisi untuk melakukan tindakan yang tidak etis atau merugikan tanpa merasa malu atau bersalah, dapat dianalisis dari berbagai perspektif, termasuk ilmu psikologi politik. Berikut adalah beberapa penjelasan tentang fenomena ini dari sudut pandang ilmu psikologi politik :
1. Desensitisasi Moral :
Salah satu teori yang dapat digunakan untuk menjelaskan hilangnya budaya malu dalam politik adalah desensitisasi moral. Desensitisasi moral terjadi ketika individu terbiasa dengan tindakan-tindakan yang sebelumnya dianggap tidak etis atau tidak pantas. Dalam konteks politik, jika politisi terus menerus terlibat dalam tindakan yang meragukan atau korupsi tanpa mendapatkan hukuman atau kritikan yang tegas, mereka mungkin menjadi kurang sensitif terhadap kesalahan moral mereka dan akhirnya kehilangan rasa malu.
2. Teori Kepercayaan Diri Berlebihan (Over Convident) :
Politisi yang memiliki tingkat kepercayaan diri yang berlebihan mungkin cenderung tidak merasa malu ketika melakukan tindakan yang merugikan karena mereka yakin bahwa mereka tidak akan tertangkap atau dihukum. Kepercayaan diri yang berlebihan dapat muncul dari berbagai faktor, termasuk dukungan politik yang kuat, kekayaan, atau keberhasilan sebelumnya dalam menghindari konsekuensi atas tindakan yang tidak etis.
3. Kecenderungan untuk Rasionalisasi :
Dalam psikologi politik, ada konsep rasionalisasi, di mana individu cenderung mencari alasan atau justifikasi untuk tindakan-tindakan mereka yang mungkin meragukan. Dalam konteks politik, politisi mungkin menggunakan alasan-alasan seperti “melakukan apa yang diperlukan untuk memenangkan”, “semua politisi melakukan hal yang sama”, atau “tindakan ini demi kepentingan yang lebih besar” untuk meredakan rasa malu atau penyesalan atas perilaku mereka.
4. Pengaruh Lingkungan Politik :
Lingkungan politik yang korup atau di mana tindakan yang merugikan dianggap sebagai bagian dari “permainan politik” juga dapat mempengaruhi hilangnya budaya malu. Jika lingkungan politik yang dihadapi politisi dipenuhi dengan praktik korupsi atau tindakan yang tidak etis yang dilakukan oleh rekan-rekan politiknya, mereka mungkin merasa tekanan untuk mengikuti contoh tersebut agar tidak terlihat lemah atau naif.
5. Pentingnya Imunitas dan Kekebalan :
Politisi yang memiliki perlindungan hukum atau imunitas politik dapat merasa lebih bebas untuk melakukan tindakan yang merugikan tanpa rasa takut akan konsekuensi hukum. Imunitas hukum atau politik dapat memberi mereka rasa keamanan yang memungkinkan mereka untuk bertindak dengan lebih tidak bertanggung jawab.
Dengan memahami faktor-faktor psikologis yang mungkin berkontribusi pada hilangnya budaya malu dalam politik, kita dapat mempertimbangkan strategi untuk mendorong perilaku politik yang lebih etis dan akuntabel. Ini termasuk penguatan aturan etika, meningkatkan transparansi, dan memperkuat lembaga-lembaga penegak hukum untuk memastikan bahwa politisi bertanggung jawab atas tindakan mereka. (berbergai-sumber)
Apa yang mengacu pada kecenderungan para politisi untuk melakukan tindakan yang tidak etis atau merugikan tanpa merasa malu atau bersalah, dapat dianalisis dari berbagai perspektif, termasuk ilmu psikologi politik. Berikut adalah beberapa penjelasan tentang fenomena ini dari sudut pandang ilmu psikologi politik :
1. Desensitisasi Moral :
Salah satu teori yang dapat digunakan untuk menjelaskan hilangnya budaya malu dalam politik adalah desensitisasi moral. Desensitisasi moral terjadi ketika individu terbiasa dengan tindakan-tindakan yang sebelumnya dianggap tidak etis atau tidak pantas. Dalam konteks politik, jika politisi terus menerus terlibat dalam tindakan yang meragukan atau korupsi tanpa mendapatkan hukuman atau kritikan yang tegas, mereka mungkin menjadi kurang sensitif terhadap kesalahan moral mereka dan akhirnya kehilangan rasa malu.
2. Teori Kepercayaan Diri Berlebihan (Over Convident) :
Politisi yang memiliki tingkat kepercayaan diri yang berlebihan mungkin cenderung tidak merasa malu ketika melakukan tindakan yang merugikan karena mereka yakin bahwa mereka tidak akan tertangkap atau dihukum. Kepercayaan diri yang berlebihan dapat muncul dari berbagai faktor, termasuk dukungan politik yang kuat, kekayaan, atau keberhasilan sebelumnya dalam menghindari konsekuensi atas tindakan yang tidak etis.
3. Kecenderungan untuk Rasionalisasi :
Dalam psikologi politik, ada konsep rasionalisasi, di mana individu cenderung mencari alasan atau justifikasi untuk tindakan-tindakan mereka yang mungkin meragukan. Dalam konteks politik, politisi mungkin menggunakan alasan-alasan seperti “melakukan apa yang diperlukan untuk memenangkan”, “semua politisi melakukan hal yang sama”, atau “tindakan ini demi kepentingan yang lebih besar” untuk meredakan rasa malu atau penyesalan atas perilaku mereka.
4. Pengaruh Lingkungan Politik :
Lingkungan politik yang korup atau di mana tindakan yang merugikan dianggap sebagai bagian dari “permainan politik” juga dapat mempengaruhi hilangnya budaya malu. Jika lingkungan politik yang dihadapi politisi dipenuhi dengan praktik korupsi atau tindakan yang tidak etis yang dilakukan oleh rekan-rekan politiknya, mereka mungkin merasa tekanan untuk mengikuti contoh tersebut agar tidak terlihat lemah atau naif.
5. Pentingnya Imunitas dan Kekebalan :
Politisi yang memiliki perlindungan hukum atau imunitas politik dapat merasa lebih bebas untuk melakukan tindakan yang merugikan tanpa rasa takut akan konsekuensi hukum. Imunitas hukum atau politik dapat memberi mereka rasa keamanan yang memungkinkan mereka untuk bertindak dengan lebih tidak bertanggung jawab.
Dengan memahami faktor-faktor psikologis yang mungkin berkontribusi pada hilangnya budaya malu dalam politik, kita dapat mempertimbangkan strategi untuk mendorong perilaku politik yang lebih etis dan akuntabel. Ini termasuk penguatan aturan etika, meningkatkan transparansi, dan memperkuat lembaga-lembaga penegak hukum untuk memastikan bahwa politisi bertanggung jawab atas tindakan mereka. (berbergai-sumber)