Kemana Saja Parpol Sebelum Pilkada 2024

indonews.tv – Siapa yang mengenal Marshel Widianto? Sebagian orang lebih mengenal dia sebagai komika yang berasal dari ajang pencarian bakat di sebuah stasiun TV nasional. Marshel lebih dikenal setelah menikahi Cesen, salah satu personel JKT48, atau soal kedekatannya dengan Rafi Ahmad, daripada dia sebagai calon wakil bupati Tangerang Selatan (Tangsel). Saat ini sosok Marshel hadir di berbagai poster dan baligo terpampang di berbagai wilayah Tangsel.

Diusungnya Marshel sebagai calon wakil bupati Tangsel menimbulkan kehebohan dalam jagat Pilkada 2024 dan memunculkan lagi istilah Pilkadal dalam obrolan sejumlah pihak. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 mengamanatkan Pilkada (akronim dari Pemilihan Kepala Daerah), dilakukan secara langsung oleh penduduk daerah administratif setempat yang telah memenuhi persyaratan. Unsur langsung dalam Pilkada kerap menjadikan sejumlah orang memberikan akronim tambahan menjadi Pilkadal yang diartikan sebagai Pemilihan Kepala Daerah secara langsung. Namun akronim ini kerap jadi bahan plesetan yang mungkin saja bermakna kritik, bahwa Pilkadal adalah pemilihan kadal.

Muncul berbagai pertanyaan di benak penulis. Pertanyaan yang menggelitik adalah, mengapa partai politik (parpol) tertentu lebih mempercayakan kepemimpinan jatuh ke tangan Marshel daripada kadernya sendiri? Bagaimana sistem kaderisasi dan rekrutmen di parpol kita? Juga menjadi pertanyaan kritis dalam tulisan ini, apa yang harus dilakukan seseorang untuk menjadi pilihan parpol? Apakah dia harus menjadi seorang artis, public figure, atau seorang pengusaha sukses untuk membeli pilihan parpol pada dirinya? Atau melalui serangkaian survey yang ditanyakan ke masyarakat tentang pilihan masyarakat terhadap calon pemimpinnya? Di mana jika hasil survey mengatakan suaranya tinggi, maka warga akan menjatuhkan pilihannya pada orang tersebut.

Ini beragam pertanyaan klasik, sebetulnya, tapi cocok dengan kondisi kekinian. Kader yang telah begitu lama mengabdi di parpol, terus terang akan sakit hati melihat pilihan partainya. Dia harus secara berjenjang mengikuti semua tahapan yang harus dilalui sebagai kader parpol. Untuk sah disebut sebagai kader parpol, dia harus mengikuti serangkaian langkah. Bahkan, tak jarang dia harus merogoh kocek pribadi untuk berbagai kegiatan parpol.


Parpol sebagai Pemungut Politik Rente

Sudah menjadi rahasia umum, untuk dicalonkan oleh parpol tertentu seseorang harus membayar senilai rupiah tertentu kepada ketua umum. Mahar politik ini diperuntukkan untuk beberapa pos, misalnya, untuk konsolidasi internal parpol, untuk pemasangan alat peraga kampanye di sejumlah titik, dan untuk pelaksanaan survey. Keberadaan mahar politik ini memunculkan kesan parpol sebagai pemungut politik rente. Dahnil Anzar Simanjuntak dalam buku berjudul Nalar Politik Rente (2014), menyatakan politik bernalar rente merupakan politik yang dibangun oleh watak egoistik, alih-alih altruistik. Politisi lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok dibandingkan kepentingan umum. Dalam mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan, para birokrat dan penguasa politik secara sistematis menggunakan kekuasaannya untuk berbisnis dengan cara “mempengaruhi” setiap pengambilan keputusan dalam berbagai kebijakan. Praktik ini mengakibatkan elit birokrasi maupun politisi memanfaatkan sokongan dana dari para pengusaha, sehingga seringkali banyak terjadi kasus-kasus kolusi, korupsi dan nepotisme di berbagai media yang dilakukan para elit politik dan birokrat.

Politik rente menjadi praktik yang kerap dilakukan parpol menjelang Pilkada. Bukan sesuatu yang haram dilakukan memang, tetapi merupakan kebiasaan di parpol. Tidak ada hukum positif yang mengatur hal ini kalau mencuat ke permukaan. Secara etika pun tak ada catatan tegas tentang politik rente. Beragam kode etik politisi maupun parpol rasanya tidak ada yang secara tegas mengatur soal dana yang dimintakan parpol kepada kader, bagaimana batas permintaan dan pengelolaan dana dari kader, bagaimana unsur integritas dan kejujuran berpolitik menjadi landasan dalam proses penggalangan dana tersebut. Bahkan, penulis pun kesulitan mencarinya dalam Buku Kode Etik Partai Politik dan Politisi (2016) buatan KPK yang digadang-gadang sebagai Naskah Kode Etik Politisi dan Partai Politik Ideal yang merupakan hasil ramuan dari berbagai kode etik yang telah dimiliki beberapa partai politik di Indonesia, kode etik yang dimiliki oleh organisasi advokat dan jurnalis Indonesia, kode etik parpol dan politisi yang ada di sejumlah negara (Inggris, Australia, Jerman, Kanada, India, dan Korea Selatan), yang disertai masukan kalangan akademisi, politisi, aktivis mahasiswa, birokrasi daerah, dan aktivis sosial dan politik.

Jadi ini sebetulnya merupakan perbuatan yang melanggar kode etik kepartaian, tapi dianggap merupakan kebiasaan oleh parpol tersebut. Jadi berlaku hukum rimba, TST (tahu sama tahu). Jika perilaku ini yang subur di lapangan, tidak akan menguntungkan bagi perkembangan parpol di tanah air. Seseorang bisa menjadi pemimpin sebuah wilayah tanpa masuk lebih dahulu menjadi kader partai tertentu. Secara instan dia bisa melamar ke parpol tertentu dengan konsesi uang sejumlah tertentu untuk membeli persetujuan sebuah parpol atas pencalonan dirinya sebagai kepala daerah.

Agenda ke Depan

Apa yang harus dilakukan oleh parpol kita sebelum pilkada atau ajang pemilihan lainnya? Parpol harus berani memutus rantai politik rente! Mulailah mengubah kebiasaan mahar politik dalam menentukan kandidat peserta pemilu yang akan diusung. Uang mahar politik nyata-nyata menjadi biang kerok munculnya praktik politik rente yang mendekatkan parpol pada politik korupsi & kolusi. Parpol pun perlu secara tegas mengatur masalah penggalangan dana dari kader parpol. Kader bukanlah sapi perah parpol dengan label uji loyalitas seperti yang selama ini terjadi. Terakhir, alih-alih mencari kandidat yang dianggap sudah “jadi” untuk diusung dalam kontestasi politik, sebaiknya proses kaderisasi parpol-lah yang diperkuat.  Parpol seharusnya menjadi salah satu sekolah politik yang penting, melahirkan pemimpin terbaik bagi bangsa ini. Bahkan, parpol perlu mendesain kurikulum pendidikan kader dan mensyaratkan mereka  mengantongi sertifikat pelatihan kader secara berjenjang  yang memenuhi syarat kader terlibat lebih jauh dalam proses pengembangan organisasi parpol maupun kontestasi politik. (#red)

oleh : Yayan Sakti Suryandaru, Dosen Departemen Ilmu Kounikasi, Universitas Airlangga, Surabaya

Related Posts

About The Author

kirim pesan
Tanyakan untuk bisa diliput indonews.tv
TANYAKAN DISINI JIKA TEMPAT ANDA INGIN DIPROMOSIKAN KE INDONEWS.TV (TELEVISi ONLINE MASA KINI)