Surabaya-indonews.tv Beredar beberapa video di media sosial beberapa kelompok anak dan remaja di beberapa wilayah Surabaya dengan membawa senjata tajam yang diacung – acungkan. Beberapa wilayah itu diantaranya didaerah – daerah baru dan pinggir Surabaya yang tersebar, baik itu Selatan, Utara, Barat dan Timur. Di wilayah tengah atau pusat biasanya terjadi di pusat – pusat keramaian yang menjadi tempat kerumunan anak anak maupun remaja.
Sebagai kota layak anak dan menuju kota global yang humanis dan berkelanjutan, tentu tak bisa ini diserahkan kepada pemerintah kota saja, semua pihak harus terlibat dalam proses mewujudkannya. Sebagaimana yang diminta oleh walikota Surabaya, Eri Cahyadi, agar semua warga kota bergotong royong untuk menjaga Surabaya.
Lalu apa yang mesti dilakukan? Sebagai ibu kota provinsi, Surabaya tentu tak bisa dilepaskan dari kemajuan pembangunan yang dilakukan. Surabaya bergerak dengan kemajuannya dan seluruh fasilitas yang mendukungnya.
Kemajuan itulah yang pada akhirnya menuntun terjadinya perubahan sosial, budaya dan perilaku.
Perubahan sosial terjadi karena memang tuntutan alam, misalkan karena usia bertambah menjadi puber, perubahan budaya terjadi karena setiap manusia butuh melakukan adaptasi, misalkan beradaptasi dengan kebutuhan pubersitasnya. Dalam rangka beradaptasi itulah setiap orang akan berproses memilih jalan aktualisasinya. Maslow menyebutnya sebagai kebutuhan aktualisasi.
Kebutuhan aktualisasi yang disinyalir oleh Maslow menimbulkan apa yang disebut dengan perubahan perilaku.
Sebagai contoh dengan kemajuan tehnologi dan pembangunan kota, setiap orang pasti akan menyesuaikan, kebutuhan tehnologi komunikasi tidak cukup hanya yang bisa panggil dan bicara, tapi butuh aplikasi lain yang dianggap sebagai simbol kemajuan.
Hal yang sama juga terjadi kemajuan pembangunan, tentu setiap orang, utamanya anak dan remaja millenial yang sangat melek tehnologi, sangat tahu apa yang dibutuhkan. Kebutuhan – kebutuhan perubahan itulah yang kalau tidak difasilitasi dengan baik akan berdampak pada perilaku sosial yang menyimpang.
Tawuran remaja dibeberapa tempat di Surabaya, meski juga disinyalir bukan hanya anak – anak Surabaya, setidaknya itu menjadi bukti ada “solidaritas” yang dibangun diantara mereka. Meski solidaritas itu bermakna negatif.
Media sosial dan kemajuan tehnologi menjadi proses yang mempercepat berkembangnya nilai – nilai di masyarakat, baik itu nilai yang baik maupun tidak.
Lalu apa yang harus dilakukan? Sebagai kota maju yang berkembang menjadi “smart city”, Surabaya tentu mempunyai banyak hal sebagai sebuah sistem untuk mencegah, menangani dan menyembuhkan, preventif, proses dan kuratif.
Cuma pertanyaannya seperti apa sistim yang dipunyai itu sudah dijalankan?
Apakah cukup upaya Surabaya dalam pencegahan kekerasan dengan pola – pola yang dilakukan seperti saat ini?
Orasi walikota dihadapan Satpol PP, Kepolisian dan TNI yang heroik, menunjukkan adanya kegelisahan terhadap kondisi Surabaya akhir – akhir ini, Surabaya yang darurat kekerasan, Surabaya darurat gengster.
Walikota ingin mengajak semua pihak untuk peduli dan bersama – sama mewujudkan Surabaya yang aman dan damai.
Sebagai sebuah sistem, Gidden menawarkan untuk membentuk perilaku dibutuhkan sebuah sistem yang kuat dan tegas, sistem itu diibaratkan seperti terminal dan bandara.
Ilustrasi Gidden, dengan terminal adalah ada kebebasan masyarakat untuk menentukan keberangkatannya, kepastian ada pada dirinya, sedang sistem juga berjalan dengan sendirinya. Nilai – nilai yang dianut adalah berjalan seiring, sehingga terjadi ketidakpastian didalam sistem. Sementara dengan bandara digambarkan kalau orang ingin berangkat, harus menyesuaikan dengan aturan yang ada, kalau tidak maka semua akan terjadi ketidak pastian.
Bermasyarakat dibutuhkan kepastian, tidak boleh orang semaunya sendiri, begitu juga dengan sistem tidak bisa berjalan sendiri tanpa memahami kebutuhan manusia. Sehingga dibutuhkan jalan tengah.
Jalan tengah yang dimaksud oleh Gidden tak cukup seseorang hanya diminta kesadarannya menjadi baik, tapi juga dibutuhkan sistem yang mengikat agar jadi baik. Disana ada ketegasan dan keterukuran.
Tegas adalah sesuatu yang berbeda dengan kekerasan, meski dalam ketegasan ada unsur yang disebut dengan kekerasan, namun semuanya diatur secara terukur penerapannya.
Ibaratnya seperti olahraga tinju dan tawuran. Meski substansinya sama, namun dalam olahraga tinju yang ada adalah ketegasan dan keterukuran, semua diatur dalam sistem. Sehingga siapapun yang ingin bermain tinju harus memegang keteraturan dan ketegasan yang ada didalamnya.
Didalam sistem sosial juga harus seperti itu, dibutuhkan ketegasan dan keterukuran dalam menciptakan ketertiban.
Dalam kaitan itu maka ada yang perlu ditinjau ulang pemahaman kita tentang kekerasan dan ketegasan. Sekolah boleh memberi sanksi tegas kepada siswanya, pemerintah boleh memberi sanksi tegas kepada masyarakatnya, dengan syarat semua ketegasan itu sudah diatur dalam peraturan yang disepakati.
Jangan kita terjebak atas nama perlindungan anak, kita membiarkan anak – anak kita terjerembab pada perilaku salah, karena ketakutan kita memberi sanksi tegas. Jangan atas nama kemanusian kita me biarkan orang lain berbuat jahat kepada orang lain.
Semoga semangat walikota menjaga Surabaya menjadi kota yang aman, damai dan membahagiakan menjadi semangat kita bersama.
Surabaya, 5 Desember 2022
Isa Ansori
Kolumnis dan Pengurus Lembaga Perlindungan Anak Jatim
Darurat Kekerasan, Surabaya Butuh Tindakan Tegas dan Terukur
|
06/12/2022 |