“Bisnis Gelap di Balik Bola Voli: Megawati dan Skema Cuan Federasi yang Terkuak!”

  • foto dari berbagai sumber internet

indonews.tv – Bergemuruh penonton sorak sorai memang identic dengan penonton sepak bola, dengan jumlah ratusan ribu orang yang memenuhi lapangan sepak bola rasanya sudah menjadi pemandangan biasa. Akan tetapi bagaimana kalo sorakan itu muncul dari sebuah Gedung atau Lapangan bolavoli yang saat itu sedang terjadi pertandingan bollavolly. Hal yang dulu belum pernah terjadi selama ini, maka di tahun khususnya 2024 sampai 2025 ini riuh rendah penonton (biarpun tidak sebanyak penonton sepak bola) bisa menggoyangkan Gedung-gedung yang mengadakan pertandingan bolavoli saat ini, berarti masyarakat sudah lebih melihat bolavoli sebagai alternatif hiburan semenjak beberapa televisi mengkhususkan tayangan pada bolavoli kali ini.
Hal itu juga didorong atas prestasi pemain-pemain bolavoli sendiri yang sampai bisa menembus kencah internasional dengan bermain di klub besar luar negeri, misalnya adalah Megawati, yang bermain di klub besar Korea Red Sparks dan melambungkan nama klub tersebut sehigga menguntungkan dari berbagai segi,misal menjual tiket, menarik sponsor, dan menjadi wajah Asia di dunia voli profesional.

Ada Apakah Dibalik Kesuksesan Volli Bal di Indonesia saat ini ?

Di balik gemerlap prestasi voli Indonesia, tersimpan kisah yang tak seindah sorak penonton di tribun.
Nama Megawati Hangestri Pertiwi, ikon voli nasional, kini menjadi simbol dari sebuah pertanyaan besar:
apakah atlet berprestasi masih dihargai sebagai pejuang olahraga — atau sekadar ladang cuan bagi federasi?
Setelah kabar batalnya transfer Mega ke klub Turki Manisa BBSK, muncul dugaan kuat bahwa PBVSI memanfaatkan popularitas Mega sebagai mesin uang.
Isunya bukan sekadar soal administrasi atau birokrasi.
Sumber internal menyebut ada praktik “fee tak resmi” yang disisipkan dalam proses penerbitan ITC (International Transfer Certificate) — dokumen vital agar pemain bisa bermain di luar negeri.
Klub Turki itu disebut menolak membayar fee tambahan tersebut karena tak tercantum dalam regulasi resmi FIVB (Federasi Voli Dunia).
Penolakan inilah yang kemudian berbuntut pada tertahannya ITC Mega, hingga kontraknya dengan Manisa akhirnya dibatalkan.
Namun dugaan ini hanyalah puncak gunung es.
Di baliknya, ada sistem yang telah berjalan lama:
setiap pemain yang “laku” di luar negeri dianggap sebagai aset ekonomi federasi.
Mereka bukan hanya atlet, tetapi juga produk — yang setiap gerak langkahnya bisa dimonetisasi.
Seorang mantan ofisial yang enggan disebutkan namanya menyebut,
> “Selama federasi masih bisa ‘mengatur izin’, maka siapa pun pemainnya tak akan bisa bebas menentukan nasib sendiri.”
Jika benar demikian, maka Megawati hanyalah korban dari sistem yang lebih besar —
sistem yang membuat karier atlet ditentukan bukan oleh kemampuan di lapangan,
melainkan oleh siapa yang mendapat bagian di meja negosiasi.
Yang lebih ironis, skema ini berpotensi merusak citra Indonesia di mata dunia.
Klub-klub asing bisa kehilangan kepercayaan untuk merekrut pemain Indonesia,
takut terjebak dalam permainan “izin berbayar” yang tak transparan.
Padahal, Mega sudah membuktikan dirinya di Korea.
Ia membawa Red Sparks melambung, menjual tiket, menarik sponsor, dan menjadi wajah Asia di dunia voli profesional.
Namun semua itu kini terancam tak berarti jika federasi sendiri menutup pintu kesempatan hanya demi keuntungan jangka pendek.
Kini publik menanti langkah PBVSI —
apakah berani membuka fakta sebenarnya,
atau justru terus bersembunyi di balik alasan “administrasi dan regulasi”.
Yang jelas, nama Megawati telah membuka luka lama olahraga Indonesia:
bahwa di balik semangat merah putih, ada sistem yang perlahan memerah karena uang.
Sumber (https://www.facebook.com/TutorialMakeupPemula1)

Related Posts

About The Author

Add Comment

Momen penting ANDA perlu diliput televisi ? hub kami "indonews.tv" Logo WA dibawah

X