indonews.tv – Sikap semangat adalah sebuah sikap yang patut dicontoh, karena sikap ini adalah sikap positif yang menunjukkan pantang menyerah dan tidak putus asa. Tapi kalau sikap ini disematkan untuk motivasi yang tidak baik, maka ini disebut sebagai sikap ambisius. Membaca sikap Jokowi yang keukeuh dengan cawe – cawe bisa dipotret dari semangat atau ambisus.
Sepintas memang sikap Jokowi sangat bagus dengan kalimat “ saya harus cawe – cawe demi bangsa dan negara “. Sebuah sikap negarawan, karena demi bangsa dan negara, dia rela menjadi martir. Namun benarkah itu sebuah sikap kenegarawanan ? Mari kta lihat rekam jejaknya.
Menjelang berakhirnya masa jabatannya, Jokowi melalui beberapa gerombolannya sudah mulai membuat kegaduhan, kegaduhan untuk mensabotase demokrasi dan UUD 1945. Didalam UUD 1945 disebutkan bahwa masa jabatan presiden adalah didalam ketentuan Pasal 7 UUD NRI 1945 secara tegas berbunyi: ‘Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan’. Artinya, masa jabatan presiden dan wakil presiden maksimal hanya diperbolehkan dua periode.
Menjelang periode kedua pemerintahannya, dunia dihantam oleh resesi global akibat pandemi covid 19 tahun 2020. Dunia terguncang, tak terkecuali Indonesia. Semua lumpuh, tak ada aktifitas yang produktif, semua anggaran negara diarahkan untuk mengatasi serangan covid 19 tersebut. APBN yang sudah dirancang untuk pembangunan, harus ditata ulang, digunakan untuk mengatasi pandemi dan kebutuhan pangan warga. Praktis APBN terkuras habis untuk kebutuhan pemulihan kesehatan.
Inilah yang kemudian membuat Jokowi kalang kabut. Program – program pembangunan fisik yang sudah dirancang jauh sebelum pandemi akhirnya mengalami lumpuh total, karena ketidaktersediaan anggaran. Hutang menjadi pilihan. Namun sayangnya hutang – hutang yang dilakukan terutama dengan China menjadi jebakan.
China memberlakukan bahwa seluruh investasi yang dia lakukan, tidak hanya uang yang dimasukkan, tapi juga tenaga kerja harus dari China. Inilah yang kemudan membuat janji Jokowi akan menciptakan 10 juta lapangan kerja tak terpenuhi. Pembangunan kereta cepat Jakarta – Bandung, juga mengalami kendala, bunga hutang semakin melambung dan menyebabkan China minta jaminan pertanggung jawaban pembayaran dimasukkan dalam APBN. Namun ini ditolak oleh DPR. Belum lagi rencana pembangunan ibu kota negara di Kalimantan, sampai sekarang pun juga belum ada tanda – tanda dimulai. Semua investor masih menunggu kepastian hukum dan situasi politik. Inilah yang membuat Jokowi tak mampu mewujudkan janji – janji politiknya. Masa pemerintahan Jokowi juga keburu akan berakhir, tidak ada jaminan akan keberlanjutan proyek – proyek tersebut, sehingga Jokowi harus membangun kepastian untuk proyek – proyeknya.
Lalu apa yang dilakukan, melalui pembantunya, Menteri Investasi / Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal penanaan, Bahlil Lahadalia mengusulkan perpanjangan masa jabatan presdien. Tak tanggung – tanggung Bahlil menggunakan rilis temuan survey indikator ( 10/1/22 ) yang menyebutkan bahwa pelaku usaha di Indonesia menginginkan pemilu 2024 diundur, meski KPU pada saat itu sudah menentukan pelaksanaan pemilu tanggal 14 Februari 2024. Alasannay ekonomi mulai bangkit setelah terpuruk akibat pandemi covid 19 dua tahun terakhir ini.
Sekilas memang masuk akal, namun sejatinya itu melanggar konstitusi, sehingga dicarikan legitimasi lain yang tidak melanggar konstitusi. Maka mulailah melalui Muhaimin dimunculkan isu perpanjangan masa jabatan presiden dan Jokowi tiga periode.
Cak Imin mengusulkan jabatan presiden tiga periode dimulai dengan melakukan amandemen UUD 1945 yang membatasi jabatan presiden dua periode. Imin beralasan bahwa dua tahun pandemi membuat Jokowi tak mampu memenuhi janjinya, sehingga dibutuhkan perpanjangan atau masa jabatan presdien menjadi tiga periode.
Usulan Cak Imin pun diamini oleh Luhut Binsar Panjaitan, atas nama big data rakyat Indonesia yang menginginkan pemilu ditunda. Namun sayangnya perdebatan tentang penundaan pemilu, perpanjangan masa jabatan, tiba – tiba karam di tangan Megawati, yang menolak wacana itu semua. Praktis wacana itu berhenti. Lalu apakah Jokowi menyerah?
Jokowi adalah tipe orang yang sangat ambisius terhadap apa – apa yang menjadi keinginannya. Salah satu keinginannya adalah jaminan keberlanjutan proyek IKN. Jokowi berharap siapapun kelak yang akan menjadi penggantinya, maka diharapkan akan melanjutkan cita – citanya, karena inilah salah satu warisan yang bisa diandalkan. Namun sayangnya, tak semua capres yang muncul adalah mereka yang bisa diharapkan bisa melanjutkan, capres koalisi perubahan untuk persatuan, Anies Baswedan. Sehingga Anies diposisikan sebagai antitesanya.
Atas dasar kekhawatiran dan ketakutannya itulah, tingkah Jokowi semakin tak terkendali. Sebagai presiden yang seharusnya netral tak berpihak, bagi Jokowi tak penting itu. Jokowi butuh jaminan siapa yang akan menjamin keberlanjutan dirinya, keluarganya dan proyek – proyeknya.
Kesana kemari Jokowi meng endorse calon presiden yang diinginkannya, bertemu Ganjar, dia akan katakan mendukung Ganjar, bertemu Prabowo, dia akan katakan dukung Prabowo, bertemu Airlangga Hartarto, dia katakan akan dukung Airlangga, bertemu Yusril, dia katakan akan dukung Yusril, kecuali terhadap Anies.
Sikap Jokowi ini bisa dibaca sebagai sikap cemas dan takut, sehingga membuatnya bertindak tak terkendali, meski itu melanggar konstitusi.
Sikap Jokowi tak pelak memantik reaksi, berbagai pegiat demokrasipun mengatakan bahwa sikap Jokowi memperlihatkan sebagai sikap broker presiden, bukan lagi negarawan.
Meski mendapat kritikan bertubi – tubi, Jokowi tak pernah ambil pusing atas itu semua, bahkan dengan gagahnya dia mengatakan “saya harus cawe – cawe atas nama negara”, sebuah sikap klise yang tak pernah bisa dibuktikan apalagi kalau melihat rekam jejak yang dia torehkan.
Atas sikap yang seperti itulah, Jokowi di kritik banyak pihak dengan kata kata “rawe rawe rantas, cawe – cawe gak pantes blas”. Sikap pantang menyerah tapi melanggar etika. (@redaksi)
Surabaya, 4 Juni 2023
Isa Ansori
Kolumnis dan Akademisi